Puasa wishal adalah menyambungkan puasa ke hari berikutnya tanpa berbuka di malam hari. Padahal, kaum muslimin yang berpuasa diperintahkan untuk berbuka setiap malamnya. Untuk melakukan wishal dengan tidak makan hingga hari berikutya dan melanjutkan puasa, dihukumi terlarang. Namun masih diberi keringanan hingga waktu sahur.
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ: – نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – عَنِ اَلْوِصَالِ, فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ اَلْمُسْلِمِينَ: فَإِنَّكَ يَا رَسُولَ اَللَّهِ تُوَاصِلُ? قَالَ: ” وَأَيُّكُمْ مِثْلِي? إِنِّي أَبِيتُ يُطْعِمُنِي رَبِّي وَيَسْقِينِي “. فَلَمَّا أَبَوْا أَنْ يَنْتَهُوا عَنِ اَلْوِصَالِ وَاصَلَ بِهِمْ يَوْمًا, ثُمَّ يَوْمًا, ثُمَّ رَأَوُا اَلْهِلَالَ, فَقَالَ: ” لَوْ تَأَخَّرَ اَلْهِلَالُ لَزِدْتُكُمْ ” كَالْمُنَكِّلِ لَهُمْ حِينَ أَبَوْا أَنْ يَنْتَهُوا – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari puasa wishal. Ada seorang muslim yang menyanggah Rasul, “Sesungguhnya engkau sendiri melakukan puasa wishal?” Rasul pun memberikan jawaban, “Siapa yang semisal denganku? Sesungguhnya aku di malam hari diberi makan dan minum oleh Rabbku.” Lantaran mereka tidak mau berhenti dari puasa wishal, Nabi berpuasa wishal bersama mereka kemudian hari berikutnya lagi. Lalu mereka melihat hilal, beliau pun berkata, “Seandainya hilal itu tertunda, aku akan menyuruh kalian menambah puasa wishal lagi.” Maksud beliau menyuruh mereka berpuasa wishal terus sebagai bentuk hukuman bagi mereka karena enggan berhenti dari puasa wishal. (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 1965 dan Muslim no. 1103).
Beberapa faedah dari hadits di atas:
1- Puasa wishal terlarang. Hikmah larangannya karena dapat mendatangkan dhoror (bahaya), melemahkan badan dan dapat mendatangkan kejemuan. Bahkan karena menyambungkan puasa dengan hari berikutnya dapat mengganggu aktivitas ibadah harian seperti shalat yang diperintahkan untuk disempurnakan dan memperbanyak membaca Al Qur’an.
Mengenai hukum puasa wishal, para ulama berbeda pendapat menjadi tiga pendapat sebagai berikut:
Pendapat pertama: Puasa wishal diharamkan. Inilah pendapat mayoritas ulama yaitu madzhab Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i. Ibnu Hazm juga menegaskan akan haramnya. Di antara dalilnya hadits yang dikaji kali ini.
Pendapat kedua: Puasa wishal dibolehkan jika mampu dilakukan. Inilah pendapat dari ‘Abdullah bin Az Zubair, bahkan diceritakan bahwa beliau melakukan puasa wishal sampai 15 hari. Demikian juga menjadi pendapat Abu Sa’id Al Khudri.
Pendapat ketiga: Hukum puasa wishal itu dirinci. Puasa wishal masih dibolehkan hingga waktu sahur. Namun menyegerakan berbuka puasa ketika tenggelam matahari itu lebih afdhol. Jika ditambah lebih dari itu, maka dihukumi makruh. Inilah pendapat Imam Ahmad, Ishaq, sebagian ulama Malikiyah, Ibnu Khuzaimah dari ulama Syafi’iyah dan sekelompok ulama hadits.
Pendapat ketiga ini berdalil dengan hadits Abu Sa’id Al Khudri berikut,
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ – رضى الله عنه – أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ « لاَ تُوَاصِلُوا ، فَأَيُّكُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُوَاصِلَ فَلْيُوَاصِلْ حَتَّى السَّحَرِ » . قَالُوا فَإِنَّكَ تُوَاصِلُ يَا رَسُولَ اللَّهِ . قَالَ « إِنِّى لَسْتُ كَهَيْئَتِكُمْ ، إِنِّى أَبِيتُ لِى مُطْعِمٌ يُطْعِمُنِى وَسَاقٍ يَسْقِينِ »
Dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah melakukan wishal. Jika salah seorang di antara kalian ingin melakukan wishal, maka lakukanlah hingga sahur (menjelang Shubuh).” Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau sendiri melakukan wishal.” Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda, “Aku tidak seperti kalian. Di malam hari, aku diberi makan dan diberi minum.” (HR. Bukhari no. 1963).
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Pendapat yang mengatakan puasa wishal boleh dilakukan dari sahur hingga sahur berikutnya, itu lebih tepat. … Ini menunjukkan bolehnya puasa wishal dan masih teranggap mudah oleh orang yang berpuasa. Yang dilakukan sama saja dengan seseorang mengakhirkan makan malamnya hingga waktu sahur. Seharian ia berpuasa dan di malam harinya ia makan. Jika ia baru makan saat sahur, itu sama saja maksudnya ia memindahkan berbukanya hingga akhir malam. Wallahu a’lam.” (Zaadul Ma’ad, 2: 36).
Pendapat terkuat dalam masalah ini, puasa wishal masih dibolehkan hingga sahur. Namun menyegerakan berbuka itu lebih afdhal. Sedangkan melakukan wishal lebih dari itu artinya tidak berbuka dan menyambungkan dengan puasa pada hari berikutnya, dihukumi haram jika sampai memudhorotkan badan atau kesehatan, begitu pula jika sampai meninggalkan kewajiban. Sedangkan jika tidak sampai meninggalkan kewajiban atau tidak sampai memudhorotkan badan, maka dihukumi makruh karena banyak di antara sahabat yang melakukan puasa wishal karena mereka pahami bahwa maksud larangan cuma sebagai petunjuk (irsyad), tidak sampai menunjukkan haram. Lihat rincian Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin mengenai hal ini dalam Fathu Dzil Jalali wal Ikrom, 7: 143. Wallahu a’lam.
2- Apa yang dimaksud di malam hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi makan dan minum ketika melakukan wishal?
Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa para ulama berselisih pendapat dalam menafsirkannya:
Pendapat pertama: Yang dimaksud adalah diberi makan dan minum secara hakiki lewat mulut. Inilah makna yang bisa ditangkap dan tidak perlu dari makna yang seperti itu.
Pendapat kedua: Yang dimaksud adalah diberi makan dan minum oleh pada hati sehingga dirinya tersibukkan dalam beribadah dan merasakan kelezatan kala itu. Hati itulah yang paling merasakan kelezatan dan manfaatnya makanan tersebut. Ketika hati terasa kuat, akhirnya tidak peduli lagi pada asupan makanan yang menguatkan fisik sehingga bisa bertahan tanpa makan dan minum untuk beberapa hari. (Lihat Zaadul Ma’ad, 2: 31).
3- Hadits ini menunjukkan semangatnya para sahabat dalam kebaikan dan semangat mereka untuk mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang wishal, mereka berkata pada beliau bahwa beliau sendiri melakukan wishal. Artinya, mereka sebenarnya ingin mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam wishal tersebut.
4- Asalnya, boleh mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berbagai hal yang beliau lakukan kecuali jika terbukti hal tersebut khusus untuk beliau dan tidak berlaku bagi umatnya.
5- Puasa wishal hanya khusus untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak berlaku pada umatnya. Karena Allah yang memberi makan dan minum pada beliau. Puasa wishal ini tidak diperintahkan oleh umat Islam sebagai bentuk rahmat bagi mereka. Ibnul Qayyim berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang puasa wishal sebagai bentuk rahmat bagi umatnya. Namun masih diizinkan hingga waktu sahur.” (Zaadul Ma’ad, 2: 33).
Semoga tulisan ini menjadi ilmu yang bermanfaat dan semakin menyemangati kita untuk mengikuti kebenaran serta berusaha mengikuti ajaran Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
Wallahu waliyyut taufiq, hanya Allah yang memberi taufik.
Referensi:
Fathu Dzil Jalali wal Ikrom bi Syarh Bulughil Marom, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, terbitan Madarul Wathon, 7: 143.
Minhatul ‘Allam fii Syarh Bulughil Marom, Syaikh ‘Abdullah bin Sholih Al Fauzan, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan ketiga, tahun 1432 H, 5: 34-37.
Zaadul Ma’ad, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan keempat tahun 1425 H.
—
Disusun Rabu siang saat hujan mengguyur Pesantren Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, 24 Sya’ban 1434 H
Artikel Rumaysho.Com
Silakan follow status kami via Twitter @RumayshoCom, FB Muhammad Abduh Tuasikal dan FB Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat